Jumat, Juli 27, 2007

Mengejar matahari terbit Bromo

Indahnya pemandangan Bromo kala sang fajar menyingsing diiringi terbitnya mentari pagi di ufuk timur telah melegenda ke seluruh pelosok negeri. Setiap hari, saat sang surya mulai bersinar, puncak penanjakan selalu ramai dipenuhi jiwa-jiwa yang haus akan keindahan.

Pamor dan reputasi Bromo yang begitu dahsyat seperti yang dilukiskan di atas sebenarnya telah lama memanggil jiwa saya untuk datang ke sana. Bahkan sejak pertama kali kaki ini menginjak bumi Surabaya 4 tahun yang lalu, keinginan untuk mengunjungi Bromo sudah muncul dengan kuatnya di hati saya. Namun tampaknya keinginan untuk menikmati terbitnya mentari di Bromo baru dapat terpenuhi akhir bulan Mei kemarin, saat istri saya datang ke Surabaya untuk yang ketiga kalinya.

Perjalanan saya dan istri saya ke Bromo bulan Mei 2007 yang lalu pun sebenarnya bukan perjalanan yang direncanakan. Tujuan utama istri saya datang ke Surabaya adalah untuk melihat rumah yang kami pesan di Puri Surya Jaya (baca posting ini), sehingga istri saya tidak membawa persiapan khusus dari Jakarta untuk dibawa ke Bromo seperti jaket atau baju hangat lainnya.

Ide untuk menyambangi obyek wisata terkenal di Jawa Timur tersebut tiba-tiba saja muncul di benak saya sehari sebelum kedatangan istri saya. Hari itu, Jum’at 25 Mei 2007 sore, ketika ide untuk pergi ke Bromo tiba-tiba ada di benak saya, saya langsung berusaha mencari penginapan di Cemoro Lawang, pintu gerbang kawasan wisata Bromo untuk hari Sabtu keesokan harinya. Di Cemoro Lawang sendiri sebenarnya banyak pilihan penginapan mulai dari yang seharga Rp. 40.000,- per malam sampai yang seharga Rp. 600.000,- per malam.

Mungkin karena dilakukan mendadak dan akhir pekan memang waktu favorit untuk mengejar matahari terbit Bromo, hampir semua penginapan yang saya hubungi lewat telepon sudah full booking. Untungnya saya masih mendapatkan tempat di Hotel Bromo Permai I di Cemoro Lawang dengan tarif kamar Rp. 250.000,- untuk satu malam termasuk sarapan dan air panas.

Setelah urusan penginapan selesai, ada satu masalah lagi yang harus diatasi. Masalah kedua ini juga yang menyebabkan saya belum pernah sekalipun ke Bromo walau sudah tinggal di Surabaya selama 4 tahun yaitu saya tidak tahu bagaimana cara pergi ke Bromo. Akhirnya keesokan harinya, Sabtu pagi, sebelum saya berangkat menjemput istri saya di bandara Juanda Surabaya, saya kembali menghubungi Hotel Bromo Permai I untuk menanyakan cara menuju Bromo. Melalui telepon itu juga saya meminta bantuan kalau ada orang dari hotel yang dapat menjadi guide selama saya di Bromo. Saya lalu diperkenalkan dengan pak Yo, salah satu staf hotel yang biasa menjadi guide bagi tamu yang menginap di hotel tersebut.

Untuk mengunjungi Bromo, ada dua cara yang dapat kita tempuh. Yang pertama adalah dengan menggunakan jasa tour & travel. Biasanya ada dua paket yang bisa kita pilih untuk pergi ke Bromo, yaitu paket overnight dan paket tour tengah malam. Pada paket overnight peserta tour akan dijemput untuk berangkat di siang hari dari Surabaya dan tiba sore hari di Bromo untuk beristirahat sampai dibangunkan pada dini hari keesokan harinya (biasanya pukul 03.00 WIB) dan diantar untuk menikmati matahari terbit Bromo dari puncak Penanjakan. Paket overnight ini biasanya ditawarkan dengan harga sekitar Rp. 1.000.000,- per orang untuk minimal 2 orang peserta. Paket yang kedua dinamakan tour tengah malam dimana peserta tour akan dijemput untuk berangkat dari Surabaya pada pukul 00.00 WIB dan sampai di puncak penanjakan tepat pada waktu matahari akan terbit. Paket kedua ini biasanya dihargai sekitar Rp. 500.000,- per orang untuk minimal 2 orang peserta.

Cara kedua untuk mencapai Bromo adalah dengan menggunakan kendaraan umum. Cara ini lebih ekonomis dan sesuai untuk budget traveler seperti saya sehingga cara kedua inilah yang saya dan istri saya tempuh saat mengunjungi Bromo untuk pertama kalinya di bulan Mei yang lalu. Kurang nyaman memang, tapi sebanding dengan penghematan yang berhasil kami lakukan.

Walhasil, dengan modal sedikit nekat, Sabtu siang, setelah menaruh koper istri saya di kamar kost, kami sudah berada di angkot (MPU kalau di Surabaya) yang membawa kami ke terminal Bungurasih. Dari Bungurasih kami menumpang bis non AC jurusan Banyuwangi sampai terminal Probolinggo dengan tarif Rp. 18.000,- per orang. Perjalanan dari Bungurasih sampai Probolinggo memakan waktu 3-4 jam terutama karena bis sering berhenti untuk menaikkan dan menurunkan penumpang sehingga kami baru tiba di terminal Probolinggo pada pukul 17.30 WIB. dari terminal Probolinggo kami masih harus melanjutkan perjalanan sampai ke Cemoro Lawang dengan menggunakan colt L300 yang biasa mangkal di luar sisi kiri terminal. Tarif dari terminal sampai Cemoro Lawang adalah Rp. 15.000,- per orang pada siang hari dan Rp. 20.000,- per orang pada malam hari. Dari terminal Probolinggo sampai Cemoro Lawang dibutuhkan waktu 1,5 – 3 jam perjalanan dengan medan yang sangat menantang, menanjak curam dan berkelok-kelok.

Kami tiba di hotel pada pukul 20.00 WIB dan langsung menemui pak Yo untuk memesan jeep yang bisa disewa ke puncak Penanjakan keesokan harinya. Pada musim ramai kunjungan wisatawan seperti di akhir pekan, lebih baik kita menyewa jeep sesegera mungkin agar tidak sampai kehabisan. Harga sewa satu unit jeep termasuk dengan supirnya adalah Rp. 250.000,- dan bisa dimuati sampai dengan 6 orang penumpang. Setelah urusan dengan pak Yo selesai, kami memutuskan untuk beristirahat agar besok dapat menikmati matahari terbit tanpa harus menahan kantuk.

Dini hari, pukul 03.30 WIB, pak Yo sudah mengetuk pintu kamar membangunkan kami. Setelah bersiap-siap sejenak, kami langsung menuju puncak Penanjakan dengan jeep yang sudah disewa sebelumnya. Perjalanan diawali dengan menyebrangi lautan pasir Bromo yang masih berselimutkan malam yang gelap sehingga taburan bintang di langit terklihat sangat jelas dan indah. Selepas melewati lautan pasir, jeep yang kami tumpangi mulai melalui medan yang curam dengan beberapa kelokan yang cukup tajam sehingga dibutuhkan keahlian khusus untuk melaluinya.

Setibanya di puncak Penanjakan, kami tidak kuat menahan dinginnya udara yang menusuk sampai ke tulang sehingga kami memutuskan untuk menyewa jaket sebagai pelindung tambahan. Harga sewa jaket yang ditawarkan di puncak Penanjakan berkisar antara Rp. 10.000,- sampai Rp. 20.000,- tergantung kepada ketebalannya.

Mendekati puncak Penanjakan banyak terdapat warung-warung untuk sekedar meminum teh atau kopi panas pengusir dingin sebelum melihat matahari terbit. Selain itu, di puncak Penanjakan sendiri disediakan view point shelter yang merupakan tempat untuk menikmati matahari terbit.

Detik-detik menjelang terbitnya matahari, puncak Penanjakan sudah dipenuhi para wisatawan baik domestik maupun mancanegara, semua memandang ke satu titik di ufuk timur, menanti keindahan yang menyeruak bersama terbitnya sang mentari.

Saat ufuk timur mulai merona merah sampai terlihatnya bulatan sang mentari merupakan momen yang sangat indah (dan romantis) yang sulit untuk dilupakan. Ketika cahaya mentari pagi mulai menerangi Bromo dan sekitarnya, memunculkan keindahan yang sebelumnya disembunyikan oleh malam, dan mengusir lapisan-lapisan tipis kabut yang mengambang di atas lautan pasir Bromo yang luas, ketika itulah alam Bromo menunjukkan simfoni keindahan yang memukau.

Setelah matahari mulai tinggi, dan kami sudah memuaskan diri mengagumi keindahan Bromo dari puncak Penanjakan (dan tentu saja memuaskan dorongan narsisme kami dengan berfoto berkali-kali di sana), kami lalu kembali ke jeep untuk menuju ke lautan pasir di kaki gunung Bromo.

Pura Hindu di kaki gunung Bromo merupakan batas akhir perjalanan menuju puncak Bromo yang bisa ditempuh dengan kendaraan roda empat. Dari sana kita bisa berjalan kaki atau menyewa kuda untuk sampai di nak tangga pertama yang menuju puncak Bromo dengan biaya sewa sebesar Rp. 50.000,- per orang pp. perjalanan ke puncak Bromo kemudian dilanjutkan dengan menapaki satu demi satu anak tangga yang tersedia di sana. Dengan cukup tersengal-sengal akhirnya kami berhasil mencapai puncak Bromo yang masih aktif dan berfoto di depan kawahnya yang mengepulkan asap tebal yang mengandung belerang.

Dari puncak Bromo, kami kembali ke hotel untuk sarapan dan mandi sebelum kembali ke Surabaya. Transportasi dari Bromo ke Surabaya juga sama dengan ketika berangkat, hanya saja dari terminal Probolinggo kami naik bis AC AKAS sampai Bungurasih hanya dengan membayar Rp. 12.000,- per orang sehingga kami mengambil kesimpulan bahwa untuk lebih menghemat biaya ketika berangkat dari Surabaya pilih bus yang tujuan akhirnya memang terminal Probolinggo bukan sampai Banyuwangi seperti yang kami tumpangi saat berangkat ke Bromo.


Afterall, perjalanan saya dan istri saya ke Bromo bulan Mei yang lalu meninggalkan kesan yang dalam dan semakin mempererat hubungan kami. Bromo memang seindah reputasinya, bagaimana menurut anda?

6 komentar:

Anonim mengatakan...

kemarin saat pergi ke bali ngeliat bromo dari pesawat...sayang gak sempet moto padahal cuacanya cerah banget bisa jelas kelihatan....pas pulang liat lagi...sayang posisinya rada menjauh, padahal kamera udah "on".....

kapan2 anterin yah kalo kita ke sby......

Priswanto mengatakan...

dengan senang hati mas nanti aku antar tp bayarin yah ;P, kapan nih rencana ke bromo?

Anonim mengatakan...

lho... harusnya "tuan rumah" dong yang menjamu "tamunya"...jadi kita tinggal dateng dan duduk manis, segala urusan akomodasi dll. tolong dihandle yah...hehehehe...

Anonim mengatakan...

mas, ada alamat dan no. telp hotelnya nggak?

Anonim mengatakan...

weh..weh..ini kan tetangga cluster. Tapi duluan ke Bromo..ketinggalan nih kita kita

Bapak'e Aris mengatakan...

Saya baca kalimat demi kalimat, dan menikmati juga foto yang di lampirkan, bahasa dan alur nya runtut pak, sehingga imajinasi saya juga terhanyut didalam alur ceritanya, dan saya pun terharu, bukan saja dengan keindahan alam yang terangkum dalam kata kalimat yang terurai namun juga kesan romantisme bapak dengan istri, Bapak dan Istri sangat beruntung. Salam