Minggu, Agustus 05, 2007

Pilkada DKI 1428 H/2007 M di Jakarta dan Perang Ahzab 5 H di Madinah

Membaca sepintas judul di atas mungkin akan membuat kita bertanya, apa hubungannya kedua peristiwa yang terpisah jarak bermil-mil dan waktu berabad-abad tersebut?

Sebelum saya lanjutkan, saya ingin menyatakan terlebih dahulu bahwa posting ini bukan merupakan usaha mengkampanyekan salah satu pihak di pilkada DKI 1428 H/2007 M, dalam hal ini pasangan Adang-Dani, apalagi waktu untuk kampanye sudah secara resmi ditutup dengan debat publik yang disiarkan secara live oleh MetroTV dan Jak TV tadi malam. Posting ini juga tidak bermaksud mengkafirkan pasangan Fauzi Bowo-Prijanto dan para pendukungnya karena saya tahu banyak juga orang Islam yang mendukung bang Foke sedangkan mengkafirkan sesama muslim adalah dosa besar. Posting ini hanya bertujuan untuk menyampaikan apa yang tiba-tiba terbersit di benak saya (mind spark) sewaktu memikirkan kemungkinan saya tidak bisa ikutan nyoblos di pilkada DKI tanggal 8 Agustus nanti secara saya kerja di Surabaya dan tanggal 8 Agustus adalah hari Rabu.

Oke, balik lagi ke hubungan antara pilkada DKI dengan perang Ahzab (bagi yang ingin merefresh kembali ingatannya tentang perang Ahzab, silakan baca di sini).

Pertama kali yang membuat saya berpikir pilkada DKI punya kesamaan dengan perang Ahzab adalah karena pasangan Adang-Dani yang hanya didukung oleh satu partai yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) harus menghadapi pasangan Fauzi Bowo-Prijanto yang didukung oleh 19 partai yang tergabung dalam Koalisi Jakarta. Kondisi tersebut mirip dengan kondisi perang Ahzab dimana umat Islam di Madinah harus menghadapi pasukan gabungan musyrikin Mekah dan Yahudi Madinah. Berawal dari hal tersebut, mulailah pikiran saya ke mana-mana mencoba melihat hubungan-hubungan lain (atau lebih tepatnya menghubung-hubungkan) antara pilkada DKI dengan perang Ahzab.

Berikut adalah beberapa kesamaan yang berhasil saya temukan (atau berhasil saya hubung-hubungkan):

  1. Kesamaan kondisi umat Islam di Madinah saat itu dengan PKS saat ini.
    Tahun 5 Hijriyah, sekitar 18 tahun sejak kelahiran Islam, setelah kemenangan telak umat Islam di medan perang Badr, dan setelah sempat merasakan kekalahan di medan perang Uhud, umat Islam, yang pada saat itu telah hijrah ke Madinah, merupakan kekuatan baru yang diperhitungkan di Jazirah Arab. Apalagi kekuatan baru tersebut membawa sebuah ideologi yang sama sekali baru yang menawarkan perubahan terhadap kondisi status quo yang sedang berlangsung di Arab, khususnya Mekkah. Kondisi status quo yang dimaksud sangat tidak sesuai dengan fitrah manusia dimana ketidak adilan ada di mana-mana dan menimbulkan ketimpangan sosial di masyarakat. Kezaliman seakan-akan hal yang biasa terjadi di Mekkah sebelum turunnya Islam. Namun perubahan yang ditawarkan oleh Islam, yang dapat dikatakan baru saja lahir, sepertinya mengusik para petinggi Mekkah yang tidak rela kekuasaannya yang telah lama dimiliki berpindah ke tangan Islam sehingga umat Islam mendapat perlawanan yang besar. Pada kasus perang Ahzab, umat Islam harus menghadapi pasukan gabungan yang dibentuk kaum kafir Quresy atas hasutan kaum Yahudi Madinah.
    Tahun 1428 Hijriyah yang bertepatan dengan 2007 Masehi, sekitar 9 tahun setelah kelahiran PKS, setelah kemenangan telak PKS di pilkada Depok dan sempat mengalami kekalahan di pilkada Banten, PKS, yang juga pernah melakukan “hijrah politik” dari sebelumnya bernama Parta Keadilan, merupakan kekuatan baru yang diperhitungkan di kancah perpolitikan nasional. PKS juga membawa ideologi yang sama dengan umat Islam di Madinah saat itu, yaitu Islam, yang dengan jelas ditetapkan sebagai asas partai. PKS dengan ideologi yang dibawanya juga menawarkan perubahan terhadap kondisi politik dan bernegara di Indonesia yang bisa dikatakan masih sangat jauh dari ideal. Indonesia saat ini harus diakui masih belum bisa dikatakan negara yang adil (apalagi sejahtera) dan ketimpangan sosial masih jelas terlihat. Perubahan yang ditawarkan oleh PKS, yang dapat dikatakan baru saja lahir, sepertinya juga mengusik ketenangan partai-partai besar yang sudah lama menguasai kancah perpolitikan Indonesia sehingga pada pilkada DKI yang akan datang ini PKS harus berhadapan dengan “pasukan gabungan” yang dibentuk oleh partai-partai lain.
  2. Kesamaan perbandingan kekuatan.
    Pada perang Ahzab, pasukan yang harus dihadapi umat Islam merupakan pasukan gabungan antara suku Quresy, suku-suku lain di Arab yang memendam permusuhan dengan Islam, dan suku-suku Arab yang punya perjanjian militer dengan suku Quresy. Bahkan kabilah-kabilah Yahudi yang berada di dalam kota Madinah pun ikut mendukung serangan pasukan Ahzab tersebut. Pihak-pihak yang tergabung dalam pasukan Ahzab tidak memiliki kesamaan ideologi dan visi, mereka hanya dipersatukan oleh tujuan yang sama yaitu menghancurkan Islam dan melanggengkan kekuasaan mereka. Di atas kertas, pasukan Islam di Madinah pasti akan dapat dengan mudah dikalahkan pada perang Ahzab.
    Pada pilkada DKI kali ini, calon yang diusung oleh PKS harus menghadapi calon yang didukung oleh gabungan partai-partai dalam Koalisi Jakarta yang masing-masing memiliki ideologi yang berbeda-beda sehingga tidak mungkin memiliki kesamaan visi. Tujuan bergabungnya partai-partai tersebut pun sangat jelas yaitu mengalahkan PKS dan melanggengkan kekuasaan mereka. Apabila merujuk pada hasil Pemilu tahun 2004, terlihat bahwa di Jakarta pada waktu itu PKS “hanya” mengantongi 30% dari suara pemilih di Jakarta sedangkan suara yang dimiliki Koalisi Jakarta sebesar 70% yang artinya di atas kertas PKS pasti dapat dengan mudah dikalahkan dalam pilkada DKI yang akan datang.
  3. Kesamaan strategi yang digunakan umat Islam untuk menghadapi perang Ahzab dengan strategi PKS untuk menghadapi pilkada DKI.
    Untuk menghadapi perang Ahzab, umat Islam membangun parit di sekeliling Madinah sebagai strategi pertahanan. Dengan adanya parit tersebut pasukan Ahzab tidak dapat menyerang Madinah tanpa menjadi sasaran empuk anak-anak panah pasukan Islam yang bersiap di seberang parit.
    Menghadapi pilkada DKI pun sebenarnya PKS sudah membangun “parit” sebagai strategi pertahanannya menghadapi “serangan” gabungan partai dalam Koalisi Jakarta. Reputasi yang dibangun PKS sejak awal kelahirannya diantaranya dengan sering mengadakan aksi-aksi sosial yang langsung menyentuh massa akar rumput, yang merupakan pemilih mayoritas di Jakarta, baik di masa kampanye maupun di luar masa kampanye telah meninggalkan kesan yang sulit dihapuskan bahwa PKS adalah partai yang peduli pada rakyat. Selain itu PKS juga dikenal sebagai partai yang relatif bersih sehingga perubahan yang ditawarkan PKS sepertinya bukan isapan jempol belaka. Kondisi dan image PKS tersebut dapat menyelamatkan PKS dari “kepungan serangan” partai-partai lainnya tepat seperti parit yang dibangun umat Islam di Madinah berabad-abad yang lalu yang telah menyelamatkan Islam dari kepungan serangan pasukan Ahzab.
  4. Dibutuhkan mukjizat untuk memenangkan pertempuran.
    Perang Ahzab berhasil dimenangkan oleh umat Islam karena turunnya mukjizat berupa bertiupnya badai di luar kota Madinah yang memporakporandakan kemah-kemah yang dibangun oleh pasukan Ahzab.
    Untuk memenangkan pilkada DKI pun, PKS tampaknya membutuhkan semacam “mukjizat politik”. Kita lihat saja tanggal 8 Agustus nanti, apakah “mukjizat politik” tersebut benar-benar diturunkan bagi PKS

Saran saya, karena hidup adalah untuk memilih, pikirkanlah sebaik-baiknya pilihan anda di pilkada DKI nanti mulai dari sekarang.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Luar Biasa. DApat ide dari mana? jangan - jangan pas di Heli waktu dari Maleo :).

praseae mengatakan...

Terlalu jauh untuk dibandingkan!
Perang Ahzab adalah perang untuk menegakkan tauhid supaya semua manusia mengucapkan dan meyakini tiada tuhan yang patut disembah kecuali ALLAH dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah.

Membandingkan Pilkada DKI, dimana Adang-Dani dikeroyok oleh 20 partai lain dengan perang Ahzab adalah terlalu jauh.

Pertama, Adang-Dani tidak secara tegas untuk menegakkan Tauhid, sedangkan perang Ahzab adalah untuk menegakkan Tauhid.

Kedua, Adang-Dani tidak secara tegas memasukkan prinsip-prinsip dasar monoteisme keislaman dalam visi kampanyenya, padahal Nabi Muhammad dan para sahabat dengan tegas mengampanyekan Islam.

Ketiga, Pilkada DKI adalah sekedar pilkada, bukan memilih Allah :)

eniwei, siapapun yang Anda pilih, akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Dan siapaun yang akan menang nantinya adalah sesuai dengan ketetapan Allah.

Priswanto mengatakan...

Super Toza:
wah klo di copper saya biasanya tidur bang daripada bosen, soalnya yang dilihat laut doank...

Praseae:
ya iyalah jauh bang, pilkada dki kan di jakarta sdgkan perang ahzab di madinah..... **mode gak nyambung on** ;p

ane setuju bang, pilihan kita harus kita pertanggungjawabkan dan siapapun yang menang nanti itu ketetapan Allah, jadi harus kita dukung donk....

Anonim mengatakan...

doain yah......
Insya Allah besok mas mau gowes sepeda dari bekasi ke priok hanya untuk memenangkan pilihan hati nurani...:-)